Kamis, 21 Maret 2013

Tell The Truth




            Truth or Dare?” Sekali lagi kamu menantangku untuk memainkan game konyol itu.
Aku mengerutkan kening, berpura – pura tak bersedia.
            “Ayo pikir, mau pilih mana?” Katamu tak menghiraukan ekspresi keberatan yang aku tunjukkan.
            “Oke, truth!” Jawabku tetap acuh sambil memainkan tali sepatu.
Panas yang memantul dari lapangan olahraga tak menyurutkan semangatmu. Segumpal  awan perlahan bergerak, meneduhi tempat kita berdua. Kupandangi anak – anak yang lain sedang bermain basket, sebagian lagi hanya duduk beristirahat seperti kita. Dengan antusias kamu mendekat dan berselonjor di sampingku. Keringat menetes dari sela – sela rambutmu yang agak jabrik.  http://elmaselviani.blogspot.com/
“Jadi, pilih truth ya!” Lalu kamu seolah berpikir keras. “Sebenernya, aku ganteng gak sih?”
Hening. Seketika tawaku meledak, mendengar pertanyaanmu yang begitu narsis. Kamu menghela nafas, lalu mendongakkan wajah ke langit luas. Entah apa yang kau pandangi di atas sana. Tawaku tak kunjung reda, sampai – sampai kamu menggerutu sendiri.
Senyum lebar  masih tersungging di bibirku, kamu tetap menatap langit sembari menyipitkan mata yang pada dasarnya sudah sipit. Sekali itu kuperhatikan wajahmu dengan seksama.Wajah yang selalu menampakkan ekspresi damai. Wajah oriental dengan sepasang mata yang teduh dan senyum terkembang. Senyum favoritku selama empat tahun terakhir. Semburat merah merona di pipiku, buru – buru kupalingkan wajah. Sesuatu dalam hatiku berdesir, mengalirkan satu sensasi yang tak membuatku nyaman. Kutundukkan kepala dalam – dalam.
Kamu berpaling dan bicara,“Gimana? Katanya pilih truth! Jadi aku ganteng apa enggak?” Katamu geli.
Dengan sedikit menggumam aku menjawab, “Emang penting banget ya kalo kamu ganteng?”
“Hahaha.. Bilang aja iya! Susah banget mengakui ketampananku.” Kamu tersenyum puas.
“Mengakui ketampananmu?? Hah!” ucapku sambil mengerucutkan bibir.
Lapangan mulai lengang, anak – anak yang lain sudah pergi berganti pakaian. Tinggal kita berdua di sini, di bawah jajaran pohon palm yang menjulang tinggi.
“Giliran kamu Dewi... Ayo nanya..”
“Boleh tanya apa aja kan?”
“Boleh, seperti biasa.”
“Kamu selalu ngikutin aku kalau mau daftar sekolah ya?” Ucapku penasaran. Pertanyaanku bukan tanpa alasan. Dari mulai SD sampai sekarang SMA , aku tidak pernah tidak satu sekolah dengan kamu, Adrian Wijaya.
Giliran tawamu yang meledak. Lalu kamu menjawab, “Sebenarnya aku juga heran kenapa kita terus satu sekolah, mungkin itu takdir. Setiap aku tahu sekolah yang aku pilih sama dengan sekolah yang kamu  plilih, sejujurnya aku senang. So, aku gak kehilangan bestfriendku.” Kamu menatapku tulus.
Aku terbius. Ya, mungkin itu takdir.
“Ayo ganti baju! Sebentar lagi jam olahraga udahan!” katamu sambil bangkit berdiri.
Dengan malas kujulurkan tangan kananku. Kamu pun mengerti dan langsung menarikku untuk berdiri.
***
Truth or Dare. Beri tahu kebenaran, atau lakukan tantangannya. Permainan favorit kita sejak dulu. Karena permainan ini kita bisa lebih mengenal satu sama lain. Makanan favorit, hal yang paling dibenci, pengalaman pahit, dll. Permainan ini ajang kita menjaili satu samalain dengan memberikan pertanyaan atau tantangan konyol.
Namun tak jarang pula tantangan – tantangan yang diberikan memicu pertengkaran diantara kita. Seperti saat kamu kamu memberikan tantangan kepadaku untuk meminta sehelai bulu kaki dari lima orang senior cowok. Hal tersebut tetap aku lakukan karena ego. Untung saja, aku kenal beberapa orang senior yang aku paksa untuk merelakan sehelai bulu kakinya. Hahaha :D
Hari ini kamu mengajakku jogging, rutinititas di hari minggu yang sama – sama kita sukai. Pagi sekali aku sudah bersiap – siap menunggumu di depan rumah. Setelah beberapa menit menunggu, di kejauhan terlihat kamu berlalari kecil dengan memakai earphone. Tanpa dikomando aku langsung bergabung denganmu, lalu meninggalkan kompleks perumahan kita. Menuju ke arah lapangan rahasia, lapangan di belakang SD tempat kita dulu bersekolah.
Dulu ketika kita masih kecil, aku sering menang bila bertanding lari denganmu. Tapi sekarang, seiring dengan tinggimu yang terus bertambah dan fisikmu yang lebih kuat, aku harus menerima kekalahan bila kamu mengajakku bertanding lari.
Keringat keluar dari sekujur tubuh, mengalirkan kekuatan ke ujung – ujung sarafku. Kuteguk air mineral untuk mengganti cairan yang hilang. Kau menjulurkan tangan meminta botol air yang ada di tanganku, tanpa ragu langsung kau teguk. Aku menelan ludah, desiran itu kembali melanda hatiku. Sial! Umpatku dalam hati.
“Eh, besok kan 14 februari. Ayo kita bikin Truth or Dare spesial Valentine!” Ujarmu seolah telah menemukan ide cemerlang.
“Terserah kamu, memangnya kalau aku gak mau gimana?”
“Harus mau!” katamu tegas. http://elmaselviani.blogspot.com/
Mentari mulai meninggi. Lapangan ini terbentang luas, diujungnya kita bisa melihat garis khayal yang seperti membatasi hijaunya rumput dan birunya langit.
“Hah....” Kau hembuskan nafas dengan kencang.
Kuhirup udara pagi sedalam – dalamnya, memenuhi seluruh gelembung alveolus dalam paru – paru. Kemudian aku pun menghembuskan nafas seperti yang kau lakukan. Menghembuskan semua perasaan yang menghimpit hatiku, mengenyahkan desiran yang akhir – akhir ini melanda diriku. Aku menengadahkan wajahku ke arah langit luas, mencari jejak – jejak hatiku yang dulu. Samar, tidak kutemukan.
Pertanyaanmu membuyarkan lamunanku, “Jadi, pertanyaan atau tantangan apa untuk Valentine besok?”
Seperti biasa ide kreatif selalu datang dari benakmu. Aku tinggal megikuti aturan mainnya saja.
“Terserah Yang Mulia Tuan Adrian saja, saya ikutin.” Ungkapku berseloroh.
“Oke! Tapi jangan protes ya! 14 februari kita harus memberi tahu siapa orang yang kita sukai. Aku penasaran banget, sebenarnya siapa yang kamu suka?”
Deg. Dengan seluruh logikaku aku pasti memilih Dare. Tapi.. hatiku berkata lain.
“Ehm, lalu kalau aku gak mau kasih tau, apa tantangannya?”
“Kamu harus ngerjain tugas sekolah aku selama satu bulan!” jawabmu seraya tersenyum.
“Ah! Curang, gak mau!”
“Makanya, kasih tau aja siapa yang kamu suka!”
“Tapi tantangannya jangan itu. Nanti kalau ketahuan guru gimana? Aku gak mau tahu.” Ucapku ketus.
Fine! We change the Dare. Tantangannya lari keliling lapangan pas jam istirahat, 10 keliling! Gimana?”
“Hmm, kita lihat aja nanti!”
“Oke, siapa takut?!” kamu menaikkan alis, menyiratkan wajah yang penuh percaya diri. Desiran dalam hatiku menjalar ke seluruh tubuh. Batu – batu itu kembali berjatuhan, menghimpit dan menyesakkan hati ini.
***
            Malam ini aku bermimpi. Berlatarkan hijau rumput lapangan rahasia kita. Kamu berdiri di ujung lapangan. Angin bertiup memainkan rambutmu. Senyummu terkembang. Aku berjalan mendekat seolah terhipnotis. Kita berhadapan, bertatapan, saling melemparkan senyuman. Aku tahu ini mimpi. Entah mengapa terasa sangat nyata.
“Ayo kita ucapkan siapa orang yang kita suka, setelah hitungan tiga.” Ucapmu selembut angin.
“Satu..” kamu mulai berhitung.
“Dua..” aku menimpali.
“Tiga..” Hening.
“Kamu..” Ucap kita serentak.
Aku tahu ini mimpi!
***
            Gerimis turun sejak tadi. Mentari dengan enggan memancarkan cahaya yang bahkan tak mencerahkan hatiku. Kupalingkan wajahku ke arah jendela, tak kuhiraukan penjelasan dari Pak Edi tentang teori relativitas. Udara menyusup dari celah jendela yang terbuka. Wangi tanah dan rerumputan menusuk hidung, dinginnya merasuk ke palung jiwaku. Namun semua itu tak menyurutkan  semarak romantisme di sekolahku. Dari tadi pagi telah banyak surat dan cokelat yang berpindah tangan. Bahkan saat ini, di tengah – tengah penjelasan guru fisika kami, euforia valentine masih sangat terasa. Dan hal ini sangat mebuatku frustasi. http://elmaselviani.blogspot.com/
Bel istirahat berbunyi. Seolah menjadi gong tanda permulaan euforia valentine yang meledak. Sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku.
From : Adri
Wi, datang ke taman belakang sekolah ya. Truth or Dare. J
      Dengan gontai kulangkahkan kaki ke tempat dimana kau menunggu. Kamu berdiri di ujung taman. Dejavu, hanya saja dalam latar yang berbeda. Dan ini kenyataan bukan mimpi. Kamu tersenyum sumringah, ditanganmu ada sebuah kotak dengan pita pink. Kita berhadapan, bertatapan, tapi aku enggan tersenyum. Aku limbung, tubuhku di sini, tapi tidak dengan pikiranku. Ingin ku berlari meninggalkan tempat ini dan melupakan tantangan yang kau buat.
            Tanpa berhitung kau bicara “ Namanya Bunga. Adik kelas kita. Aku kenal dia di OSIS. Rencananya aku mau nembak di hari ini, pokoknya kamu harus lihat!” ujarmu bersemangat.
           Sisa – sisa gerimis seolah mewakili air mataku yang kutahan sejak tadi. Aku tak mengenali sosokmu saat ini. Bagiku kamu bukan Adrian yang kukenal. Senyummu menyakitkan, asing. Kamu menarik tanganku, lebih tepatnya menyeretku berlari ke arah sebuah ruang kelas.
            Di depan pintu kau berbisik, “Do’ain aku ya..” Permintaan tulus yang berat kuturuti.
            Saat itu segalanya menjadi kabur, tertutupi oleh genangan air mata di pelupuk mataku, panas. Ku saksikan sorak – sorai anak – anak yang menyaksikan aksi pernyataan cintamu. Tak ada satupun yang menghiraukanku. Aku berlari ke arah lapangan, pergi dengan membawa rasa kecewa atas impian – impian palsu yang selama ini kuyakini. Ku hapus air mata dengan kasar. Di pinggir lapangan aku berhenti,  kemudian kutulis pesan singkat.
            To : Adri
      Slmt ya. Aku pilih Dare. Jujur kok, 10 keliling.
      Kalu gak percaya lihat dan hitung sendiri.
            Aku mulai berlari dan berlari. Menguatkan hatiku yang porak poranda disetiap ayunan kaki. Tak ku hiraukan gerimis dan orang – orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Aku terus berlari agar tak ada air mata yang keluar. Namun semakin sesak hati ini saat kumelihat kamu keluar dari ruang kelas itu. Kau memandangku dengan ekspresi tak terbaca. Aku berpaling, terus menatap lurus. Aku tak mau terlihat menyedihkan. satu yang kuyakini, aku hanya perlu untuk terus berlari. I will never tell the truth.
           

Dilarang copast tanpa mencantumkan sumber yaak! Hargai penulis.



21022013
@elmathics
For 28 april

Tidak ada komentar:

Posting Komentar