Senin, 16 November 2015

SAMARA[1]


Note : Cerpen berjudul Samara ini adalah cerpen yang saya ikut sertakan di Lomba Tulis Cerpen GBSI 2015 dengan ketentuan tema "Lokalitas". Alhamdulillah berhasil lolos 20 besar cerpen terbaik dan akan segera  dicetak dalam sebuah antologi cerpen tahunan GBSI. Selamat membaca :)
Pagi ini ku lihat meja makan tanpa selera. Istriku sepertinya sudah berangkat kerja, sedangkan anakku semata wayang memang menginap di rumah eyangnya. Di rumah yang cukup besar ini kami hanya tinggal bertiga. Tidak ada pembantu, hanya tukang bersih-bersih rumah yang datang tiap hari. Sangat sepi dibandingkan dengan rumah keluarga besarku dulu yang berpenghunikan sembilan orang; Ibu, Ayah, aku, saudara-saudaraku dan seekor kucing peliharaan yang kuberi nama Ciko. Ralat, sembilan orang dan seekor kucing.
Sekali lagi kuperhatikan makanan yang tersaji di atas meja, roti yang telah dipanggang, telor ceplok, sekotak sereal dan segelas susu. Walaupun tak bernafsu makan aku tetap memakan semuanya. Lagipula makanan itu disiapkan oleh istriku, meski dia sangat sibuk tapi tetap menyempatkan diri untuk menyiapkan semua ini. Setelah selesai makan aku membereskan meja dan menaruh peralatan kotor di tempat cuci piring, lalu menyalakan mobil dan bergegas menuju hotel tempatku bekerja.
Aku dan istriku sama-sama pernah tinggal di US[2] untuk melanjutkan sekolah. Kami bertemu pertama kali dalam acara-acara khusus yang dihadiri mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia. Sudah sejak umur 16 tahun ia tinggal di sana, jadi walaupun asli orang sunda tapi sudah menjadi kebiasaan baginya memasak dan menyantap makanan ala barat.
Untunglah jalanan tidak macet, aku bisa mencapai hotel dalam waktu 30 menit. Aku bersyukur tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta yang tiada hari tanpa macet.
“Pagi Pak Mansyur!” Sapaku pada satpam hotel yang kukenal.
“Pagi Pak! Sarapan Pak?” Ujarnya sambil menyeruput teh manis.
“Sarapan dengan apa Pak? Tanyaku sekedar ingin tahu.
“Nasi Uduk, pisang goreng dan teh manis.” Jawab Pak Mansyur ramah.
“Wah… mantap tuh Pak!” Kataku lagi sambil berpamitan dan meneruskan langkah menuju ruanganku.
Sesampainya di ruangan aku memeriksa laporan dari beberapa Manager yang belum sempat aku periksa. Secepatnya akan kuselesaikan untuk kemudian diserahkan kepada General Manager. Ada satu laporan yang membuatku tertarik, yaitu laporan dari F&B Manager[3]. Idenya untuk membuat menu makanan khas Indonesia menurutku cukup baik. Aku rasa aku harus mencobanya nanti.
Aku tak ingat kapan terakhir kali makan makanan Indonesia. Menu makanku tiap hari tidak jauh dari roti, steak, salad, pasta dan makanan lainnya yang menurutku kurang berbumbu. Ya betul makanan tersebut enak, kebanyakan dimasak oleh koki ternama, tapi indra pengecap dan penciumanku benar-benar merindukan cita rasa tertentu. Seperti cita rasa pedas yang bisa membuatku berkeringat, hingga wangi rempah-rempah yang mampu menggugah selera makan.
Dering telpon menyadarkanku dari lamunan. Seseorang dengan suara cempreng terdengar di ujung telpon. Hanya satu orang di dunia ini yang memiliki suara seperti itu.
Hello dude! Apa kabar? Aku dengar kamu bekerja di sebuah hotel. Tahu tidak? Aku sekarang ada di Indonesia! Bagian yang paling mengejutkan,  hotel tempatku menginap adalah hotel yang sama dengan hotel tempat kamu bekerja! Ujar suara di seberang sana dalam satu tarikan nafas.
Hey... Slow down! Aku tak bisa dengar jelas suara kamu kalau kamu ngomong seperti kereta api. Sabrina? Are you really Sabrina?” Ujarku sambil tersenyum.
Yeah, it’s me. Aku sangat sibuk sekarang. Sudah ya, temui aku jam makan siang di restoran hotel!” Aku tak percaya dia menutup telpon begitu saja, dasar Sabrina! Istriku akan sangat senang bila dia bisa mampir ke rumah kami. Sabrina adalah teman dekat istriku, dan secara otomatis menjadi teman baikku juga. Ibunya orang Indonesia sedangkan ayahnya seorang bule berkulit putih. Sejak kecil dia belum pernah ke Indonesia karena seluruh keluarganya menetap di US.
Kuselesaikan pekerjaanku dengan cepat, yah… tapi tetap saja memakan waktu yang lama hingga tak terasa jam makan siang telah tiba. Aku pergi bergegas menuju restoran hotel, namun Sabrina belum nampak. Sambil menunggunya aku membuka-buka buku menu. Mataku langsung mencari-cari menu makanan Indonesia, memilih menu untuk direkomendasikan pada Sabrina.
Kebiasaanku membaca adalah dengan mencari kata kunci terlebih dahulu secara cepat, baru membaca kalimat atau paragraf setelah kata kunci aku temukan. Hal itu berlaku juga sekarang, saat aku membaca buku menu. Aku mencari nama-nama makanan Indonesia seperti rendang, gado-gado, sate atau apapun makanan khas Indonesia, lembar demi lembar tak kunjung aku temukan. Ini sempat membuatku bingung dan heran. Kucari lagi dengan perlahan hingga aku temukan kolom makanan berjudul Indonesian Food. Aku berdehem pelan membaca nama-nama yang tertera; Spicy Coconut Beef, Mixed Vegetables with Peanut Sauce, Beef on a Stick with Peanut Sauce dan masih bannyak lagi menu lain yang sangat asing. Aku tercenung agak lama setelah menyadari ketiga menu dalam bahasa inggris tadi tidak lain dan tidak bukan adalah rendang, gado-gado dan sate.
“Hey, sudah lama menunggu? Maaf aku terlambat.” Suara Sabrina menghentikan lamunanku tentang nama-nama makanan itu.
“Tidak apa-apa. Aku juga belum lama sampai.” Jawabku. Lalu kami mengobrol mengenai banyak hal. Aku menceritakan keluarga kecilku, Sabrina tak sabar untuk bertemu Adit, anakku. Dari obrolan kami kutahu rupanya dia sedang dalam perjalanan bisnis di Indonesia.
“Aku suka sekali makanan Indonesia, kemarin aku diajak berkeliling wisata kuliner street food[4] di Bandung. Banyak sekali ternyata ya jajanan yang unik? Dan orang-orang sepertinya punya lidah yang kuat.” Ujar Sabrina bersemangat.
“Benarkah? Apa saja yang kamu cicipi? Aku bahkan tak ada waktu untuk wisata kuliner. Seringnya aku makan pada acara formal.”
“Aku tak ingat namanya, tapi ini salah satu favoritku.” Katanya sambil menunjuk sate dan lontong yang sedang kami makan.
“Yeah, bahkan Obama suka makan sate.” Ucapku sambil tersenyum. Tak bisa dihindari, Sabrina lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikutnya tentang kisah Obama dan sate.
“Seharusnya biarkan saja di buku menu makanan ini diberi nama sate. Rasanya lebih pas” Saran Sabrina serius. Aku mengangguk mengiyakan.
Di akhir obrolan kami Sabrina berkata geli “Kau tahu perbedaan sate yang kumakan sekarang dan kemarin? Entah mengapa sate yang kemarin terasa lebih Indonesia. Maksudku ini bukan hanya tentang bumbu, tapi tentang semuanya. Kamu paham kan?”
Aku sebenarnya tak bisa menangkap secara pasti maksud Sabrina. Maka ku jawab pertanyaannya dengan senyum. Lalu ia berkata lagi “Anehnya dengan porsi yang lebih banyak, harga sate yang kemarin jauh lebih murah dengan harga sate di sini. Aku bisa memakluminya, ini kan hotel bintang lima.” Kata Sabrina sambil terkikik. Begitulah pertemuanku dengan Sabrina. Ia berjanji akan mampir ke rumahku nanti akhir pekan.
***
            Aku membelokkan mobilku menuju sebuah komplek perumahan. Di ujung komplek masih terdapat lapangan rumput tempat anak-anak bermain. Dulu aku sering bermain bersama teman-temanku di sana, kami bermain apa saja yang sedang musimnya. Entah kenapa tapi selalu saja ada musim tertentu ketika satu permainan ramai dimainkan, aku paling menyukai musim layangan. Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang yang lebih sering memainkan permainan seperti Clash of Clans  pada gadget mereka, lebih mengenal Elsa, Anna, Optimuse Prime dan Bumblebee dibandingkan Unyil, Usro, Melani dan kawan-kawan. Itu sebabnya aku membatasi Adit dalam menggunakan gadget.
            Ibuku menyambut kedatanganku dengan hangat. Semenjak Ayah meninggal, beliau memang hanya tinggal bersama pembantu dan seorang satpam. Ciko sudah lama mati. Saudara-saudaraku semuanya sudah memiliki keluarga.
            “Adit sedang main di lapangan. Coba kamu jemput dulu.” Ujar ibuku. Aku menuruti kata beliau dan berjalan ke depan komplek untuk menjemput Adit.
            Komplek ini masih sama seperti dulu. Pohon-pohon yang berjejer rapi di pinggir jalan masih kokoh pada tempatnya, membuat udara disekitarnya menjadi sejuk. Jalan yang agak berkelok karena dataran yang tidak rata.  Kuperhatikan lagi sekelilingku lebih seksama. Ternyata memang ada yang berubah, rumah-rumah sekarang memiliki pagar yang lebih tinggi.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar lantunan tembang sunda, merdu terbawa angin hingga ke telingaku. Tidak jelas apa yang sebenarnya diucapkan, namun nadanya mengingatkanku pada sesosok ayah yang menyanyikan lagu pengantar tidur bagi anaknya. Sang ayah menggendong anaknya yang masih kecil, mencoba menenangkan tangisan sang buah hati dengan menembangkan sebuah lagu, menepuk-nepuk pelan seolah berkata “Tenang nak... Ayah ada di sini, jangan menangis lagi.”
Suara itu terus melantunkan tembang yang sama berulang-ulang, rupanya sebuah rekaman, semakin jelas karena aku semakin dekat dengan sumber suara. Ternyata tembang itu berasal dari sebuah mobil pick up. Bukan sekedar mobil karena di atasnya terdapat tenda yang terbuat dari terpal, seorang laki-laki terlihat sedang menggoreng sesuatu, seorang lagi tengah membungkus makanan yang telah digoreng. Di sekitar mobil itu banyak anak-anak yang sedang berkerumun, termasuk Adit.
Adit menghampiriku sambil tersenyum. “Yah, Adit habis jajan dulu. Ayah mau nggak?” Katanya sambil menyodorkan makanan ke mulutku. Makanan itu berbentuk bulat seperti bola, setelah aku makan ternyata itu tahu.
“Nyam.. nyam.. enak” Ucapku dengan mulut penuh karena memakannya sekaligus. Adit tergelak melihat tingkahku. “ Yuk pulang...” Ajak Adit sambil menggandeng tanganku.
Mobil pick up itu berlalu menuju tempat lain, menjajakan dagangannya dengan cara yang unik, memanggil para pembeli dengan tembang sunda yang khas. “Tahu Bulat, digoreng di mobil dina katel dadakan. Lima ratusan… Gurih… Gurih… enyoi…”[5]
Sekarang aku paham maksud Sabrina tentang sate yang terasa lebih Indonesia. Ini bukan hanya sekedar bumbu, tapi tentang semuanya. Ketika memakannya kita diingatkan akan Indonesia… akan rumah. Akan kenangan bersama orang yang kita cintai. Seperti wangi rempah yang mengingatkanku pada tangan ibu yang kuning akibat memarut kunyit, atau segarnya es kelapa muda yang mengingatkanku bahwa itu adalah minuman favorit ayahku. Suatu saat nanti kalau aku memakan tahu bulat lagi, aku akan teringat akan Adit, bahwa kami pernah bersama berjalan bergandengan tangan di komplek menuju rumah Ibuku. Aku yakin Adit juga begitu.
Satu hal lagi, aku benar-benar harus memerintahkan F&B Manager untuk mengganti nama-nama makanan Indonesia di buku menu. Apa jadinya tahu bulat jika berada di daftar menu itu sekarang? Fried Round Shaped Soybean Curd? Sangat tidak cocok.


[1] Bumbu (dalam Bahasa Sunda)
[2] United States merujuk pada United States of America
[3] Food and Beverage Manager
[4] Jajanan yang dijajakan di pinggir jalan
[5] Tahu bulat, digoreng di mobil menggunakan wajan, mendadak. Harganya lima ratus. Gurih… gurih… empuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar