Note : Cerpen berjudul Samara ini adalah cerpen yang saya ikut sertakan di Lomba Tulis Cerpen GBSI 2015 dengan ketentuan tema "Lokalitas". Alhamdulillah berhasil lolos 20 besar cerpen terbaik dan akan segera dicetak dalam sebuah antologi cerpen tahunan GBSI. Selamat membaca :)
Pagi ini ku lihat meja makan tanpa selera. Istriku
sepertinya sudah berangkat kerja, sedangkan anakku semata wayang memang
menginap di rumah eyangnya. Di rumah yang cukup besar ini kami hanya tinggal
bertiga. Tidak ada pembantu, hanya tukang bersih-bersih rumah yang datang tiap hari.
Sangat sepi dibandingkan dengan rumah keluarga besarku dulu yang berpenghunikan
sembilan orang; Ibu, Ayah, aku, saudara-saudaraku dan seekor kucing peliharaan
yang kuberi nama Ciko. Ralat, sembilan orang dan seekor kucing.
Sekali
lagi kuperhatikan makanan yang tersaji di atas meja, roti yang telah
dipanggang, telor ceplok, sekotak sereal dan segelas susu. Walaupun tak
bernafsu makan aku tetap memakan semuanya. Lagipula makanan itu disiapkan oleh
istriku, meski dia sangat sibuk tapi tetap menyempatkan diri untuk menyiapkan
semua ini. Setelah selesai makan aku membereskan meja dan menaruh peralatan
kotor di tempat cuci piring, lalu menyalakan mobil dan bergegas menuju hotel tempatku
bekerja.
Aku
dan istriku sama-sama pernah tinggal di US[2]
untuk melanjutkan sekolah. Kami bertemu pertama kali dalam acara-acara khusus
yang dihadiri mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia. Sudah sejak umur 16 tahun ia
tinggal di sana, jadi walaupun asli orang sunda tapi sudah menjadi kebiasaan
baginya memasak dan menyantap makanan ala barat.
Untunglah
jalanan tidak macet, aku bisa mencapai hotel dalam waktu 30 menit. Aku
bersyukur tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta yang tiada hari tanpa macet.
“Pagi
Pak Mansyur!” Sapaku pada satpam hotel yang kukenal.
“Pagi
Pak! Sarapan Pak?” Ujarnya sambil menyeruput teh manis.
“Sarapan
dengan apa Pak? Tanyaku sekedar ingin tahu.
“Nasi
Uduk, pisang goreng dan teh manis.” Jawab Pak Mansyur ramah.
“Wah…
mantap tuh Pak!” Kataku lagi sambil
berpamitan dan meneruskan langkah menuju ruanganku.
Sesampainya
di ruangan aku memeriksa laporan dari beberapa Manager yang belum sempat aku periksa. Secepatnya akan kuselesaikan
untuk kemudian diserahkan kepada General
Manager. Ada satu laporan yang membuatku tertarik, yaitu laporan dari F&B Manager[3].
Idenya untuk membuat menu makanan khas Indonesia menurutku cukup baik. Aku rasa
aku harus mencobanya nanti.
Aku
tak ingat kapan terakhir kali makan makanan Indonesia. Menu makanku tiap hari
tidak jauh dari roti, steak, salad, pasta
dan makanan lainnya yang menurutku kurang berbumbu. Ya betul makanan tersebut
enak, kebanyakan dimasak oleh koki ternama, tapi indra pengecap dan penciumanku
benar-benar merindukan cita rasa tertentu. Seperti cita rasa pedas yang bisa
membuatku berkeringat, hingga wangi rempah-rempah yang mampu menggugah selera
makan.
Dering
telpon menyadarkanku dari lamunan. Seseorang dengan suara cempreng terdengar di
ujung telpon. Hanya satu orang di dunia ini yang memiliki suara seperti itu.
“Hello dude! Apa kabar? Aku dengar kamu
bekerja di sebuah hotel. Tahu tidak?
Aku sekarang ada di Indonesia! Bagian yang paling mengejutkan, hotel tempatku menginap adalah hotel yang sama
dengan hotel tempat kamu bekerja!” Ujar suara di seberang sana dalam
satu tarikan nafas.
“Hey... Slow down! Aku tak bisa dengar jelas suara
kamu kalau kamu ngomong seperti kereta api. Sabrina? Are you really Sabrina?”
Ujarku sambil tersenyum.
“Yeah, it’s me. Aku sangat sibuk
sekarang. Sudah ya, temui aku jam makan siang di restoran hotel!” Aku tak percaya
dia menutup telpon begitu saja, dasar Sabrina! Istriku akan sangat senang bila
dia bisa mampir ke rumah kami. Sabrina adalah teman dekat istriku, dan secara
otomatis menjadi teman baikku juga. Ibunya orang Indonesia sedangkan ayahnya
seorang bule berkulit putih. Sejak kecil dia belum pernah ke Indonesia karena
seluruh keluarganya menetap di US.
Kuselesaikan
pekerjaanku dengan cepat, yah… tapi tetap saja memakan waktu yang lama hingga
tak terasa jam makan siang telah tiba. Aku pergi bergegas menuju restoran hotel,
namun Sabrina belum nampak. Sambil menunggunya aku membuka-buka buku menu.
Mataku langsung mencari-cari menu makanan Indonesia, memilih menu untuk
direkomendasikan pada Sabrina.
Kebiasaanku
membaca adalah dengan mencari kata kunci terlebih dahulu secara cepat, baru
membaca kalimat atau paragraf setelah kata kunci aku temukan. Hal itu berlaku
juga sekarang, saat aku membaca buku menu. Aku mencari nama-nama makanan
Indonesia seperti rendang, gado-gado, sate atau apapun makanan khas Indonesia, lembar
demi lembar tak kunjung aku temukan. Ini sempat membuatku bingung dan heran. Kucari
lagi dengan perlahan hingga aku temukan kolom makanan berjudul Indonesian Food. Aku berdehem pelan
membaca nama-nama yang tertera; Spicy
Coconut Beef, Mixed Vegetables with Peanut Sauce, Beef on a Stick with Peanut Sauce dan masih bannyak lagi menu lain yang sangat asing.
Aku tercenung agak lama setelah menyadari ketiga menu dalam bahasa inggris tadi
tidak lain dan tidak bukan adalah rendang, gado-gado dan sate.
“Hey, sudah lama menunggu? Maaf aku terlambat.”
Suara Sabrina menghentikan lamunanku tentang nama-nama makanan itu.
“Tidak apa-apa. Aku juga belum lama sampai.”
Jawabku. Lalu kami mengobrol mengenai banyak hal. Aku menceritakan keluarga
kecilku, Sabrina tak sabar untuk bertemu Adit, anakku. Dari obrolan kami kutahu
rupanya dia sedang dalam perjalanan bisnis di Indonesia.
“Aku suka sekali makanan Indonesia, kemarin aku
diajak berkeliling wisata kuliner street
food[4] di
Bandung. Banyak sekali ternyata ya jajanan yang unik? Dan orang-orang
sepertinya punya lidah yang kuat.” Ujar Sabrina bersemangat.
“Benarkah? Apa saja yang kamu cicipi? Aku bahkan tak
ada waktu untuk wisata kuliner. Seringnya aku makan pada acara formal.”
“Aku tak ingat namanya, tapi ini salah satu favoritku.”
Katanya sambil menunjuk sate dan lontong yang sedang kami makan.
“Yeah, bahkan Obama suka makan sate.” Ucapku sambil
tersenyum. Tak bisa dihindari, Sabrina lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikutnya tentang kisah Obama dan sate.
“Seharusnya biarkan saja di buku menu makanan ini
diberi nama sate. Rasanya lebih pas” Saran Sabrina serius. Aku mengangguk
mengiyakan.
Di akhir obrolan kami Sabrina berkata geli “Kau tahu
perbedaan sate yang kumakan sekarang dan kemarin? Entah mengapa sate yang
kemarin terasa lebih Indonesia. Maksudku ini bukan hanya tentang bumbu, tapi
tentang semuanya. Kamu paham kan?”
Aku sebenarnya tak bisa menangkap secara pasti
maksud Sabrina. Maka ku jawab pertanyaannya dengan senyum. Lalu ia berkata lagi
“Anehnya dengan porsi yang lebih banyak, harga sate yang kemarin jauh lebih
murah dengan harga sate di sini. Aku bisa memakluminya, ini kan hotel bintang
lima.” Kata Sabrina sambil terkikik. Begitulah pertemuanku dengan Sabrina. Ia
berjanji akan mampir ke rumahku nanti akhir pekan.
***
Aku
membelokkan mobilku menuju sebuah komplek perumahan. Di ujung komplek masih
terdapat lapangan rumput tempat anak-anak bermain. Dulu aku sering bermain
bersama teman-temanku di sana, kami bermain apa saja yang sedang musimnya. Entah
kenapa tapi selalu saja ada musim tertentu ketika satu permainan ramai
dimainkan, aku paling menyukai musim layangan. Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang
yang lebih sering memainkan permainan seperti Clash of Clans pada gadget mereka, lebih mengenal Elsa,
Anna, Optimuse Prime dan Bumblebee dibandingkan Unyil, Usro, Melani dan
kawan-kawan. Itu sebabnya aku membatasi Adit dalam menggunakan gadget.
Ibuku menyambut
kedatanganku dengan hangat. Semenjak Ayah meninggal, beliau memang hanya tinggal
bersama pembantu dan seorang satpam. Ciko sudah lama mati. Saudara-saudaraku
semuanya sudah memiliki keluarga.
“Adit sedang main di
lapangan. Coba kamu jemput dulu.” Ujar ibuku. Aku menuruti kata beliau dan
berjalan ke depan komplek untuk menjemput Adit.
Komplek ini masih sama
seperti dulu. Pohon-pohon yang berjejer rapi di pinggir jalan masih kokoh pada
tempatnya, membuat udara disekitarnya menjadi sejuk. Jalan yang agak berkelok
karena dataran yang tidak rata.
Kuperhatikan lagi sekelilingku lebih seksama. Ternyata memang ada yang
berubah, rumah-rumah sekarang memiliki pagar yang lebih tinggi.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar lantunan tembang
sunda, merdu terbawa angin hingga ke telingaku. Tidak jelas apa yang sebenarnya
diucapkan, namun nadanya mengingatkanku pada sesosok ayah yang menyanyikan lagu
pengantar tidur bagi anaknya. Sang ayah menggendong anaknya yang masih kecil,
mencoba menenangkan tangisan sang buah hati dengan menembangkan sebuah lagu,
menepuk-nepuk pelan seolah berkata “Tenang nak... Ayah ada di sini, jangan
menangis lagi.”
Suara itu terus melantunkan tembang yang sama berulang-ulang,
rupanya sebuah rekaman, semakin jelas karena aku semakin dekat dengan sumber
suara. Ternyata tembang itu berasal dari sebuah mobil pick up. Bukan sekedar mobil karena di atasnya terdapat tenda yang
terbuat dari terpal, seorang laki-laki terlihat sedang menggoreng sesuatu,
seorang lagi tengah membungkus makanan yang telah digoreng. Di sekitar mobil
itu banyak anak-anak yang sedang berkerumun, termasuk Adit.
Adit menghampiriku sambil tersenyum. “Yah, Adit
habis jajan dulu. Ayah mau nggak?” Katanya sambil menyodorkan makanan ke
mulutku. Makanan itu berbentuk bulat seperti bola, setelah aku makan ternyata
itu tahu.
“Nyam.. nyam.. enak” Ucapku dengan mulut penuh
karena memakannya sekaligus. Adit tergelak melihat tingkahku. “ Yuk pulang...”
Ajak Adit sambil menggandeng tanganku.
Mobil pick up
itu berlalu menuju tempat lain, menjajakan dagangannya dengan cara yang unik,
memanggil para pembeli dengan tembang sunda yang khas. “Tahu Bulat, digoreng di mobil dina katel dadakan. Lima ratusan… Gurih…
Gurih… enyoi…”[5]
Sekarang aku paham maksud Sabrina tentang sate yang
terasa lebih Indonesia. Ini bukan hanya sekedar bumbu, tapi tentang semuanya.
Ketika memakannya kita diingatkan akan Indonesia… akan rumah. Akan kenangan
bersama orang yang kita cintai. Seperti wangi rempah yang mengingatkanku pada
tangan ibu yang kuning akibat memarut kunyit, atau segarnya es kelapa muda yang
mengingatkanku bahwa itu adalah minuman favorit ayahku. Suatu saat nanti kalau
aku memakan tahu bulat lagi, aku akan teringat akan Adit, bahwa kami pernah
bersama berjalan bergandengan tangan di komplek menuju rumah Ibuku. Aku yakin
Adit juga begitu.
Satu hal lagi, aku benar-benar harus memerintahkan F&B Manager untuk mengganti
nama-nama makanan Indonesia di buku menu. Apa jadinya tahu bulat jika berada di
daftar menu itu sekarang? Fried Round
Shaped Soybean Curd? Sangat tidak cocok.